Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2017

Sederet Pertanyaan yang Tak Terucap

“Entah mengapa hujan begitu syahdu. Membawa material-material rindu yang membuat otak merangkai kenangan yang tersimpan lama. Menghirup dalam-dalam aroma tanah yang basah bak pecinta kopi merindukan rasa pahitnya.” Hari ini hujan turun. Aku duduk di bangku taman kota dengan payung besar yang melindungiku dari derasnya air dari langit. Sendiri menikmati aroma tanah yang sudah lama tak diguyur hujan. “Maaf mba aku ikut berteduh di sini ya.” Seorang pemuda tampan duduk di sebelahku dengan jarak setengah meter. Aku mengangguk mengiyakan. Hei! Dia pemuda itu, kakak Gisel. Ya, aku masih ingat sekali wajahnya. Dari mana dia, hendak kemana. Ah aku tak berani membuka obrolan lebih dulu. Biarlah aku menunggunya mengucap sepatah kata demi memancingku untuk bertanya. Sepuluh menit, hujan masih saja deras. Dingin mulai merasuk ke sela-sela kerah baju yang kupakai. Hari ini aku memakai kaos pendek berkerah dan celana panjang berbahan kaos. Lengkap dengan sepatu olah raga dan handuk y

Ada Celah Untuk Membuat Kita Lebih Bersyukur

Gadis itu memonyongkan bibirnya yang merah merekah, menutup satu matanya, alisnya tebal bak ulat bulu. Lalu jepret! Kilat di kamera itu menyala. Aku menyilangkan kedua tanganku, meliriknya sinis. “Bibirku jauh lebih seksi darinya. Warna kulitku juga lebih eksotis dibandingkan dia.” gumamku. Aku kembali meliriknya, sesekali menatap gadis itu dengan mengangkat daguku. “Apa hanya gadis berkulit putih saja yang bisa menjadi dambaan mata para pria?” tanyaku dalam hati. Lagi-lagi aku meliriknya. “Oke!! Hari ini selesai ya.” ucap lelaki yang memegang kamera itu. Gadis itu berjalan menghampiriku dan berkata.. “Hai, aku Gisel.” Aku memandang telapak tangan yang ia julurkan padaku. Tangannya putih, lembut dengan gelang cantik melingkarinya. Jari jemarinya lentik bak pemain dawai dari negeri sebrang. “Aku Risa.” kujabat tangannya yang lembut itu. “Aku duduk sini ya. Ini majalahmu? Aku pinjam ya.” ucapnya dengan nada khas gadis manja. Aku menganggukkan kepala,

Seikat Bunga Untukmu

Maaf aku terlambat. Sore ini toko bunga ramai sekali. Ada seorang lelaki menghampiriku. Ia tak tampan, hanya saja senyumnya mengembang manis sekali. Oh maaf aku bukan hendak membandingkannya denganmu. Dia hanya menyapaku selayaknya orang yang tak sengaja berpapasan di keramaian. Aku masih ingat dulu aku pun terpesona dengan senyummu. Kau sepertinya lelaki paling didambakan oleh wanita di dunia ini. Begitu ramah dan berhati baik. Aku yang waktu itu membeli handphone di toko tempatmu bekerja, mengira bahwa kau anak dari si empunya toko. Ternyata kau lah si empunya toko itu sendiri. Aku malu sekaligus tertegun. Rasa kagumku melunjak tinggi sekali. Bahkan aku sudah membayangkan betapa bahagianya jika aku menjadi kekasihmu. Tak lama, rupanya kau mencari tahu tentangku ya? Hmm aku agak jual mahal saat itu. Berharap kau terus mengejarku. Tapi ternyata kau pintar sekali membuatku ingin mengejarmu. Mataku tak pernah bosan mencuri pandang memperhatikan sosok lelaki berpawakan tinggi putih se

Tujuh Bulan Aku Mengabaikanmu

Aku menenteng laptopku, berjalan menyusuri beberapa kelas hingga sampai pada ruangan ber AC. Terdapat satu meja dengan segelas air putih dan tiga macam snack yang setiap hari disediakan. Aku duduk dan meraih tas merahku. Menggenggam sebuah wadah kecil berisi alat make up. Mukaku kucel sekali, lesu seperti menahan beban yang berat. Entah apa aku bisa berdiri lagi hanya dengan melirik yang tersedia di atas meja. Sedari tadi saat mentari berjinjit-jinjit di atas jendelaku, perutku belum terisi. Aku memutuskan untuk melangkahkan kakiku bersama bayanganku yang disorot oleh panas matahari, meninggalkan tempat itu. Keringatku mengucur deras persis seperti air mataku kala itu. Saat dimana semua orang merasa iba pada kesalahanku sendiri. Aku berjalan membendung air yang seakan ingin melonjak dan tumpah membanjiri wajahku. Menahan yang seharusnya bisa mengalir deras kala itu. Tapi aku diam menatap kosong dengan hati yang pilu. Semua seperti mimpi hingga aku meyakinkan diriku bahwa esok ak

Dibalik Sepenggal Kisah

Dunia ini nyata tapi skenarionya sudah diatur dengan apik olehNya. Sampai sudut kota mana kamu akan bersembunyi, bila itu takdirmu ia akan mengejar. Lalu bagaimana melewati hal yang tidak kita inginkan? Tuhan tidak pernah memberi cobaan di luar batas kemampuan umatnya. Ngomong itu gampang. Tapi apa yang terjadi bila kau merasakannya? Ya..akan ada hikmah di sana. Entah dimana kau menemukan suatu rasa yang menggugah simpati pada kepastianNya. Kau pasti kuat, menurutNya. Ah..saya jadi ngeri sendiri. Pernah saya menceritakan tentang seorang perempuan yang ketakutan sampai mati hanya karena pernah mendengar ibu-ibu bergosip di rumahnya. Padahal saat itu ia masih sangat kecil untuk mengetahui apa itu selingkuh. Ya..ia takut membayangkan bahwa ibunya akan sakit hati karena ayahnya selingkuh. Entah itu hanya ketakutannya saja karena candaan dari seorang teman ayahnya atau memang rahasia yang ditutupi oleh ayahnya sendiri yang kebetulan sekali ia tahu. Apa ia benar-benar tahu? Saya rasa

Salah Jatuh Cinta

Aku duduk di halte dekat sekolah. Aku sengaja menunggunya lewat. Dia adalah seorang pemuda, masih sekolah sepertiku. Tapi dia tiga tahun lebih tua dariku. Aku masih mengenakan seragam putih biru waktu itu dan dia mengenakan seragam putih abu-abu. Kebetulan sekolahnya dekat dengan halte bus itu. Setiap pulang sekolah aku sering melihatnya berjalan bersama teman-teman sekolahnya melewati halte bus. “Itu dia!” teriakku dalam hati gembira. Dia berpawakan tinggi kurus kulitnya putih, sepertinya dia keturunan Tiong hoa. Dia bercanda dengan teman-temannya. Salah satu temannya memanggil namanya. Delon! Teriak teman-temannya itu. Entah mereka sedang bercanda membahas apa. Mereka tertawa lepas seperti saling ejek satu sama lain. “Ah..yang penting aku sudah tahu namanya.” teriakku senang dalam hati. Aku ingin sekali meloncat-loncat kegirangan. Dari dekat pemuda itu benar-benar tampan, bahkan semakin terlihat lebih tampan dari biasanya. Aku pulang dengan hati gembira. Senyum-senyum se

Pura-pura Lupa adalah Cara Ampuh Menutupi Kebohongan

Aku tak tahu mengapa aku begitu membenci ayahku. Padahal saat aku ada kesempatan bertukar pikiran dengan ayahku, aku merasa nyaman. Apakah dengan satu dua kesalahan ayah bisa membuatku begitu membencinya. Aku sangat ingin bisa bersama dengan ayahku seperti halnya anak perempuan yang senang bergelayut manja dengan ayahnya. Meminta dengan penuh harap diperbolehkan pergi ke konser bersama teman-teman. Meskipun yang aku harapkan ayah akan melarangku karena rasa khawatirnya. Hari itu aku mengutuk diriku sendiri. Tidak tahu malu pacaran dengan bapak-bapak. Ah dia sudah punya istri rupanya. Yang aku cari lelaki yang punya sifat kebapakan, bukan suami orang. Aku berusaha lari menghindarinya. Tapi lelaki itu gila. Dia seperti punya indera ke enam. Selalu tahu dimana aku berada. “Sinting! Urus saja anak dan istrimu.” umpatku dalam hati. Meski aku haus kasih sayang seorang ayah, tapi bukan ini yang aku mau. Aku masih berharap menjadi wanita baik-baik. Setidaknya aku berusaha menjadi bai

Memilih dengan Hati

Memilih adalah suatu pilihan yang tak bisa dihindari. Ketika kita dihadapkan pada dua hal, sejatinya tak mampu menjalankan keduanya. Jika memang harus memilih, maka pilihlah. Pernahkah kamu begitu sulit menentukan pilihan? Saat dua hal seakan menjadi prioritas namun hanya mampu menjalani salah satunya saja. Jika pernah, apakah keputusanmu sudah bulat dan kau jalankan sepenuh hati? Saya dan pekerjaan saya sebagai seorang tenaga kesehatan sangat sulit mengabaikan satu bahkan ratusan pasien hanya demi lima menit bermain bersama anak. Tangis manjanya membuat saya betah berlama-lama mengikuti alunan nada dalam batin yang bergejolak. Nada-nada yang memerintahkan badan saya untuk berputar arah kembali ke rumah. Sekali dua kali saya pergi dengan paksa, nyatanya hati tak mampu bersikap dewasa. Bercanda dengan rengekan anak bukan hal yang patut diteruskan. Akankah saya berdiri tegak tanpa menoleh sedikitpun pinta sang buah hati? Saya benar-benar telah menjadi seorang ibu. Bukan hany

Selesaikan dan Mulailah dengan Kehidupanmu yang Sesungguhnya..Anya.

“Tak mungkin ketakutan itu muncul hanya karena pernah patah hati. Aku yakin ada lagi selain itu.” Ingatan Anya menyeruak. Saat ia masih kecil, begitu polosnya ia berkata pada ibunya. “Bu..ayahku ganti saja ya. Ganti sama ayahnya mba Siska. Ayahnya mba Siska baik sekali.” Ibu Anya hanya tersenyum simpul. Selama ini sosok ayah yang sempurna bagi Anya adalah pak Toni ayah Siska salah satu teman di kompleks rumahnya. Beliau begitu baik, terlihat tidak pernah marah dan sangat sabar mengurus anak-anaknya yang terlihat bandel menurut Anya. Anak-anak itu temannya. Kakak beradik bernama Siska dan Toto. Ibu mereka dalam bayangan yang Anya ingat adalah teman ibunya dengan bahasa tubuh serta nada bicaranya yang kemayu tapi galak. Anak-anaknya kurang mempunyai sopan santun, tata krama pada orang tuanya sendiri juga sangat kurang. Bila mereka menginginkan sesuatu, mereka meminta dengan nada kasar dan teriak keras bila tak dipenuhi. Ibunya akan ikut marah-marah sampai semua orang di komplek

Anya dan Sebuah Ponsel

Anya terbangun saat ponsel suaminya berdering. Suaminya masih tertidur pulas. Dengan hati gelisah, ia mencoba memberanikan diri meraih ponsel suaminya itu. Hanya nomer, tak ada nama. Suara perempuan di sebrang sana membuat kakinya lemas, marah, curiga dan rasa takut menjadi satu. Selama ini ia mengenal sosok suaminya sebagai laki-laki yang tidak pernah macam-macam dan sangat menyayangi istri dan anaknya. Tapi malam itu membuatnya ragu dengan sosok.ia kenal baik selama ini. “Halo..ini siapa?” tanya perempuan itu. “Saya Anya, istri mas Rizki. Ini siapa ya?” jawabnya risau. “Istri? Mas Rizki itu janji sama aku mau telepon habis maghrib. Aku tunggu-tunggu kok ga telepon juga. Makanya aku telepon.” suara perempuan itu kesal. Rizki terbangun sebelum Anya menanyakan siapa perempuan itu. “Siapa sayang?” tanya Rizki. Anya tak mampu menjawab, ia membisu tanpa kata. Diraihnya ponsel itu dan Rizki sengaja loud speaker. “Katanya mau telepon habis maghrib?” Suara perempuan it